Blora sebagai sebuah kota di provinsi Jawa Tengah memiliki sebuah sejarah lokal yang patut diungkap terutama oleh kalangan orang Blora sendiri. Sejarah ini akan memperlihatkan bagaimana perilaku masyarakat kota Blora yang tentunya perilaku dari masa lalu tersebut masih menampakan jejaknya sampai saat ini. Perilaku ini kadang menjadi unik mengingat di Blora terdapat sekumpulan masyarakat yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat yang lain.
Keunikan ini berupa perilaku yang kurang dapat dipahami oleh masyarakat di luar komunitas tersebut sehingga menimbulkan sebuah mainstream atau pemikiran bahwa masyarakat atau komunitas tersebut seperti orang gila dan cenderung ke arah negatif dan kurang dapat bersosialisasi dengan masyararakat lain. Komunitas yang sering dianggap gila ini sering disebut dengan suku Samin. Kebanyakan orang Blora akan merasa tersinggung apabila dikatakan samin. Anggapan ini tidak lepas dari sejarah yang telah terjadi pada komunitas Samin tersebut yaitu perlawanan yang dilakukan komunitas Samin terhadap Belanda.
Ada baiknya mainstream diatas perlu dikaji ulang agar kita dapat memahami siapa dan apa yang di maksud Samin sesungguhnya. Mengerti akan corak sosial budaya Saminisme sendiri menjadi penting untuk mengungkap latar belakang dari pergerakan Suku Samin tersebut. Dengan mengerti corak budaya inilah kita akan tahu seberapa jauh perlawanan dan pola-pola yang diterapkan oleh Suku Samin dalam melakukan pergerakan melawan Belanda. Selain itu kita harus mampu mendalami apa yang sebenarnya diajarkan oleh suku tersebut dengan tanpa memakai mainstream yang telah terbentuk di otak kita, sehingga kita akan dapat mengambil sejarah yang obyektif dengan memperkecil unsur subyektifitas yang ada pada diri penulis.
Saminisme sebenarnya bersumber dari seorang bernama samin surosentiko yang yang sebenarnya memiliki nama Raden Kohar seorang putra dari Raden Surowijoyo yang sangat membenci Belanda. Raden Surowidjoyo merupakan putra Raden Mas Adipati Brotodiningrat yang memiliki dua putra yaitu R Ronggowirjodiningrat dan R Surowidjojo. Tahun 1840 Raden Surowidjojo bertindak sebagai perampok dan menyerahkan hasilnya pada rakyat miskin dan sisanya digunakan untuk mendirikan komunitas Tiyang Sami Amin. Tahun 1859 lahir Raden Kohar anak dari R Surowidjojo yang sering disebut Samin Surosentiko di desa Ploso Kabupaten Blora.
Perlawanan terhadap penjajah kolonial Belanda disebabkan karena Ketakutan atas bergesernya status sosial, hal ini dapat dilihat dari tokoh penggerak dari Saminisme itu sendiri yang merupakan petani yang tergolong cukup mampu. Petani yang cukup mampu ini memiliki tanah lebih dari 3 Bahu sedangkan pada saat itu kepemilikan tanah dibatasi sehingga tanah yang boleh mereka miliki berkurang. Berkurangnya tanah ini menyebabkan kurangnya kedudukan mereka di mata rakyat karena ukuran kedudukan saat itu diukur dari luas tanah. Hal ini terkait dengan pengakuan kedudukan seseorang di mata penduduk desa yaitu pemilik sawah atau tanah yang luas ialah orang yang sangat tinggi statusnya sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tanah merupakan ukuran tinggi rendah status dari masyarakat pedesaan.
Selain dari faktor diatas, faktor kebencian akan penjajah dan perlakuan sewenang-wenang dari bumi putera yang menjadi perangkat pemerintah kepada masyarakat menjadi faktor pendorong dari perlawanan masyarakat Samin. Pada dasarnya Suku Samin merupakan suku yang menginginkan persamaan derajat antara satu manusia dengan manusia lain. Dalam hal ini maka gerakan ini menginginkan persamaan derajat antara penduduk pribumi yaitu petani dan bangsa Belanda beserta kaki tangannya yaitu Bumi Putera atau pribumi yang menjadi pegawai Belanda.
Pada tahun 1903-1905 pengikut Samin Surosentiko sudah berjumlah 772 orang dan tersebar di 34 desa di wilayah Blora.dan kemudian pada tahun 1907 pengikut Samin Surosentiko sudah mencapai 5000 orang, pada tahun itu pula ia diangkat menjadi Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Surya Alam. Karena dianggap berbahaya maka ia dan 8 pengikutnya ditangkap asisten wedana blora untuk diasingkan keluar jawa pada tahun 1908. Pada tahun 1911 sampai 1914 ajaran Samin sudah mulai meluas sampai ke Grobogan dan Pati. Mereka mensosialisasikan gerakan tidak mau membayar pajak bahkan melakukan aksi kekerasan pada aparat pemerintah. Sampai tahun 1917 Saminisme telah tersebar di Blora, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, Tapelan. Akan tetapi setelah tahun 1945 saminisme lebih fokus di daerah Blora yaitu di Klopoduwur sebagai pusat Saminisme dan Bojonegoro sebagai jumlah populasi yang terbanyak.
Kata Samin sendiri berasal dari kata Sami-sami amin. Kata ini dapat diintrepertasikan sebagai sebuah wujud demokrasi yang berlandaskan pada persetujuan bersama sebagai landasan yang sah yang didukung komponen masyarakat banyak. Persetujuan ini ialah persetujuan sekelompok orang yang kemudian sering disebut dengan Suku Samin. Komunitas ini telah memiliki sistem bahasa dan kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat Blora pada umumnya sehingga dapat dikatakan bahwa samin merupakan suku yang eksklusif.
Samin disetiap daerah memiliki ciri khas masing-masing. Samin sendiri umumnya berdasarkan karakter perilakunya dibagi menjadi dua, yaitu: samin sikep dan samin sangkah. Walaupun sama-sama orang samin tapi tampaknya dikalangan orang samin mereka lebih senang disebut sebagai seorang sikep. Hal ini karena disebabkan mainstream dari masyarakat yang kadang menjelekan arti samin sendiri.
Samin Sikep, suku Samin ini memiliki ciri dengan tutur bahasa yang halus dan masih memakai bahasa yang santun kepada orang-orang tua. Salah satu ciri yang lain ialah perlawanan dengan cara perilaku dengan model niteni (memperhatikan miliknya sendiri). Cara ini konkritnya ialah ketika ditarik pajak akan hasil buminya maka ia akan menggunakan pola fikir bahwa tanah yang digarap ialah tanahnya sendiri bukan tanah dari bangsa belanda mengapa harus membayar pajak untuk miliknya sendiri. Dapat disimpulkan bahwa Samin sikep dengan cara ini menolak pajak sebagai bentuk perlawananya.
Samin Sangkah, Suku Samin memiliki karakter yang berbeda dengan Samin Sikep. Samin Sangkah ditandai dengan tutur bahasa yang kasar kepada bangsa Belanda dan pribumi pegawai Belanda. Pola dari bahasa kasar ini dengan memakai bahasa Jawa Ngoko kepada Belanda berserta kaki tanganya. Pemakaian bahasa ini menunjukan nilai-nilai persamaan derajat yang diusung oleh suku Samin kepada Belanda. Selain itu yang menjadi ciri dari Samin Sangkah ini ialah perilaku dengan model logika berdasarkan perspektif mereka sendiri. Pola ini secara konkrit ialah ketika ditanya berapa jumlah sapi yang dimilikinya maka ia akan menjawab dua walaupun sebenarnya memiliki sapi lebih dari dua. Hal ini sesuai asumsi mereka bahwa sapi mereka hanya dua yaitu jantan dan betina. Perilaku ini dilakukan guna menghindari pajak dari Belanda serta membingungkan Belanda dalam mencari informasi akan gerakanya.
Ajaran Suku Samin berasal dari Kitab Jamus Kalimasada yang terdiri dari 5 bagian: (1) Serat punjer kawitan ialah sebuah ajaran tentang silsilah raja-raja Jawa, adipati-adipati Jawa Timur, dan penduduk Jawa. Dalam kitab ini mengajarkan bahwa orang Jawa adalah keturunan Adam dan Pandawa yang berhak mewarisi pulau Jawa dan Belanda bukan merupakan keturunan dari adam dan pandawa sehingga tidak memiliki hak tersebut. Dapat dikatakan bahwa ajaran ini secara simbolik ialah sebuah ajaran nations bagi orang Jawa karena mengajarkan untuk mencintai tanah airnya. (2) Serat pikukuh kasejaten sebuah ajaran tentang tata cara dan hukum perkawinan masyarakat Samin. Membangun keluarga merupakan sarana kelahiran budhi yang menghasilkan atmajatama (anak yang utama). Rumah tangga berlandaskan kukuh demen aji (kokoh memegang janji). (3) Serat Uri-uri Pambudi Ajaran tentang perilaku seperti :Angger pratikel (hukum tingkah laku), Angger pangucap (hukum berbicara), Angger-angger lakonono (hukum yang harus dijalankan). (4) Serat Jati Sawit Ajaran tentang kemuliaan hidup sesudah mati seperti: Becik ketitik, olo ketoro, sopo goroh bakal gronoh, sopo salah seleh (yang baik dan yang jelek akan kelihatan, siapa yang berdusta akan nista, siapa yang bersalah akan kalah). (5) Serat Lampahing Urip Berisi tentang primbon seperti: Kelahiran, Perjodohan, Hari baik untuk setiap kegiatan
Setiap gerakan tentu memiliki pola-pola yang dijadikan acuan dalam pergerakanya. Pola-pola ini juga terdapat dalam perlawanan suku Samin dalam perlawanan kepada kolonial Belanda, yaitu Pura-pura gila, hal ini dilakukan dengan cara memberi jawaban yang tidak mengena bila ditanya oleh Belanda beserta kaki tanganya. Contohnya ialah ketika ditanya mau pergi kemana maka akan dijawab dengan akan ke depan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perlawanan kepada pemerintah Belanda. Pola ini cukup memiliki efek yang besar karena cukup membingungkan dari pihak Belanda untuk mencari informasi dari Suku Samin sendiri.
Gerakan perlawanan samin juga dilakukan dengan penolakan membayar pajak, hal ini dilakukan dengan cara sebisa mungkin menghindari pajak atau membayar pajak dengan serendah-rendahnya. Hal ini dilakukan dengan cara ketika ditanya berapa sapimu akan dijawab dua yaitu jantan dan betina walaupun sebenarnya 5 atau memiliki pola fikir niteni seperti Samin Sikep yaitu buat apa bayar pajak untuk tanah sendiri.
Penolakan memperbaiki jalan, penolakan ini dilakukan oleh suku Samin dengan konsekuensi ketika akan kepasar atau ketempat-tempat lain maka ia tidak memakai jalan tersebut. Hal ini sesuai dengan pola fikir mereka yang merasa tidak ikut menggarap jalan tersebut maka ia tidak memiliki hak untuk memiliki dan memakai jalan tersebut sehingga ia akan memakai jalan-jalan di tepi sawah. Selain itu juga dengan penolakan jaga malam, Mereka berpendapat lebih baik menjaga rumahnya sendiri-sendiri dari pada jaga malam. Pendapat ini didasarkan pada pola niteni dari Suku Samin Sikep yang lebih mementingkan miliknya sendiri.
Bukan hanya menolak jaga malam tapi samin juga Menolak kerja paksa, Penolakan kerja paksa ini dilakukan oleh Suku Samin selama 3 tahun. Sistem bahasa yang berbeda tampaknya juga dipakai dalam perlawananya, pemakaian sistem bahasa yang berbeda dari orang kebanyakan guna menyulitkan pihak Belanda dalam mencari info tentang Suku Samin. Mereka juga memakai bahasa Jawa Ngoko kepada Belanda untuk menunjukan bahwa manusia itu memiliki derajat yang sama sehingga hal ini secara tidak langsung merupakan pola perlawanan terhadap kesewenangan dari belanda. Selain itu juga warna pakaian hitam, dalam pola perlawanan ini mereka menggunakan baju hitam dan celana komprang sebagai penunjuk bahwa mereka selalu berduka dalam kekuasaan Belanda.
Melihat paparan diatas maka ada baiknya masyarakat hendaknya mampu melihat secara obyektif kepada suku samin. Sehingga adat istiadat yang sangat berharga tidak ditinggalkan oleh penganut samin karena merasa dipandang negatif. Samin memang bukan satu-satunya suku yang tertinggal di Indonesia akan tetapi apabila mainstream masyarakat tidak diubah samin akan semakin ditinggalkan dan kemungkinan juga akan terjadi suku-suku yang yang lain. Apabila hal ini terus dibiarkan suku-suku yang ada di Indonesia seperti suku Tengger dan Badui akan tersingkirkan dan hilang dari bumi Indonesia